Rabu, 27 Februari 2013

CINTA, Seribu Satu Cerita

Februari, "bulan cinta", kata sebagian orang. Kenapa? ada Valentine's Day di sana. Hari yang dirayakan sebagai hari kasih sayang. Waktu yang tepat untuk memberi cokelat, sebuket bunga merah muda, mengajak pasangan makan malam, dan mengucap seribu kata cinta. Suka tidak suka, 14 Februari telah menjadi budaya. Yang kemudian diikuti oleh banyak manusia di penjuru dunia. Meskipun tidak sedikit yang mengecamnya.

Kali ini saya memang akan bicara tentang "cinta". Tapi, sekali lagi saya tegaskan, ini tidak berkaitan dengan Februari, si "bulan cinta". 14 Februari lalu saya memang mendapat sebuket mawar ungu saat membuka pintu kamar kos. Bunga itu dibawa seorang lelaki berjaket ungu. Dengan senyum lembut meski lelah terpancar jelas di mata dan garis-garis kulitnya. Bunga itu bukan simbol perayaan "hari kasih sayang". Mawar ungu itu adalah simbol kebahagiaan atas pertemuan. Perayaan atas kebersamaan setelah jarak memisahkan kami dalam beberapa hari.

Cinta, segala hal tentangnya tak pernah selesai dibahas dan dibicarakan. Berapa ribu lirik lagu sudah digubah, berapa juta puisi, berapa miliar kisah? Dan semua itu tak akan pernah habis, tak juga terkikis, sampai kapan pun. Sebab, cinta itu adalah hidup. Ia itu kehidupan. Ia habis jika kehidupan itu sendiri telah mati. Ia menjadi sandaran, menjadi titik tumpu, penyangga, pemantik bahagia, atau bisa saja pisau bermata dua. Setiap kepala memiliki definisi berbeda tentangnya. Ada yang menterjemahkannya dengan bijak. Tidak sedikit yang terjebak pada permukaan saja.

Cinta sangat universal. Salau satunya mengibaratkan kesejatian pada kisah dua manusia, berbeda jenis, yang memutuskan untuk hidup bersama, dalam janji Tuhan, dengan asmara yang masih membuncah di hati dan kepala. Mengucap sumpah setia, saling menjaga, mencinta, menutup kekurangan, sampai tua. Hanya ajal lah pemisahnya. Manis, sangat manis. Pesta digelar. Ribuan orang diundang. Tawa memecah. Bahagia menghujan. Indah.

Lalu, mari sebentar menengok kabar di koran pagi. Tentang angka perceraian di Indonesia yang semakin tinggi. Pemicunya beragam, perselingkuhan, ketidakcocokan, dan masalah ekonomi. Bahkan, penyebab tertinggi adalah masalah ekonomi. Kesenjangan pendapatan, gaji istri yang lebih tinggi, suami yang tidak mampu memberikan kelayakan dan sesejahteraan secara materi diduga menjadi pemantiknya.

Bergeser sedikit ke media visual, televisi, beserta objek berita yang selalu laris manis diberitakan: selebriti. Dalam beberapa minggu terakhir, kabar perceraian menjadi topik yang panas. Ada yang baru menikah dua tahun, delapan tahun, bahkan 16 tahun. Alasannya pun beragam. Yang jelas, kawin-cerai menjadi tren yang tidak hanya terjadi pada selebriti, tapi juga masyarakat secara umum. Sepertinya, perceraian menjadi sesuatu yang sangat wajar. Perempuan tidak perlu berpikir puluhan kali untuk menjadi janda. Kemapanan ekonomi dan kemandirian menjadi senjata yang ampuh untuk mengambil keputusan dalam waktu cepat. Tanpa pertimbangan dan pemikiran yang benar-benar matang. Bayangan saya pun bertamasya. Sesulit itukah menjaga bara asmara tetap hangat seperti hari pertama penyatuan jiwa? Serumit itukah hingga sesungguhnya kita tak akan pernah benar-benar mengenal pasangan kita meski waktu telah terbentang menumbuhkan kenangan dan perjalanan.


Kemudian, saya disuguhkan buku dan film Habibie Ainun. Kisah nyata tentang kesejatian cinta. Tentang kehidupan rumah tangga yang luar biasa indah. Saya tak pernah bosan membacanya, lagi dan lagi. Sebab, di sana saya menemukan kedamaian, peran yang tepat di masing-masing posisi. Saling menutupi kekurangan dan menjaga keindahan cinta. Saya melihat cinta, merasakannya. Dari mata perempuan anggun yang tidak pernah mengeluh. Perempuan cerdas yang sangat paham bahwa ada hal-hal yang tidak bisa lagi dipaksakan ketika janji suci itu terikat di atas kekuatan iman. Bapak Habibie yang telah habis waktu oleh pekerjaan. Ibu Ainun yang tak pernah mengeluh dan menuntut sedikit waktu untuknya. Saya melihat sinergi, keselarasan. Saya melihat ketulusan, kasih yang senantiasa terjaga manis di tempatnya.

Dan saya berhenti, menengok pada perjalanan waktu yang masih sangat dini. Empat bulan usia pernikahan saya. Usia yang masih sangat muda. Jalan yang ditempuh di atas dua kaki yang tak sama. Dua kepala yang benar-benar berbeda. Seperti apa nantinya? Saya belajar dan terus belajar. Dari kegagalan orang tua saya sendiri, dari ketidakberhasilan yang saya ketahui. Terlebih, dari cinta sejati, suci, dan abadi yang telah berhasil ditahbiskan banyak pasangan. Habibie Ainun salah satunya. Saya pun mendamba sejarah istimewa. Semoga.

*Manusia lahir dan mati silih berganti. Semua mengenal cinta, belajar, mengecap, menikmati, dan berusaha memaknainya. Banyak yang mati tanpa sanggup memahami. Tidak sedikit pula yang mampu meninggalkan jejak keabadian, menciptakan sejarah hingga semua insan Tuhan tahu, cinta mereka sejati.


Surabaya, 28 Februari 2013