Sabtu, 05 April 2014

Ulang Tahun: Kue, Lilin, Kejutan, lalu apa?

Apa yang Anda pikirkan tentang ulang tahun? Kue beraneka warna dengan tumpukan lilin bergerombol? Teman-teman yang mendadak menjadi aneh di hari terakhir menjelang tanggal eksekusi? Kejutan-kejutan istimewa dari pacar, teman, keluarga? Siraman tepung dan guyuran air? Atau bingkisan-bingkisan indah yang berisi benda-benda kesukaan?

Ulang tahun selalu menjadi perayaan sakral dalam hidup sebagian manusia. Saya sebut sebagian. Sebab toh di luar sana ribuan orang tidak sempat mengingat tanggal lahirnya. Hidup mereka terlalu sibuk untuk sekadar memikirkan makanan apa yang bisa mengganjal perutnya. Di atap mana mereka berteduh, dan di emperan toko apa mereka berbaring. Begitulah, hidup selalu memiliki dua sisi. Di waktu yang sama, bahagia dan derita terjadi. Dan memang seharusnya begitu bukan? Karena kita tak pernah menemukan kosakata bahagia tanpa ada kata derita. Permasalahannya saat ini mungkin sudah terlalu banyak manusia yang kebablasan. Mereka enggan memberi satu di antara seratus tawa yang ada di saku celananya. 

Saat remaja, pemahaman tentang ulang tahun yang saya miliki pun berbatas pada kue tart, kado, lilin, kejutan, siraman tepung, guyuran air. Bahkan, secara diam-diam saya selalu menunggu kejutan-kejutan itu.hahahaha Sehari menjelang ulang tahun, bisa dipastikan teman-teman dekat akan bersikap aneh, Mendadak ada masalah, marah-marah, menciptakan fitnah, dan berbagai tindakan yang bertujuan membuat menangis darah.hahahaha Dan cerita drama itu akan berakhir pada guyuran air dan siraman tepung. Kehebohan pun tercipta. Semua bernyanyi lagu "Happy Birthday". Bagi yang punya uang, langsung deh ajak teman-teman sekelas makan di kantin. Dan hari bersejarah dalam kehidupan manusia itu pun berakhir dengan tawa canda. Sudah. Selesai. Tanpa ada perenungan, tanpa ada sebuah persembahan untuk perjuangan yang luar biasa di hari bersejarah tersebut. Seorang perempuan yang dengan bahagia merasakan sakit yang luaaarrrrrr biasaaaaa. Perempuan yang pada akhirnya menjadi pilihan yang kesekian dari sebuah perayaan ulang tahun. Perempuan itu bernama...Ibu.

Sebelum 29 November 2013, pemahaman saya tentang ulang tahun pun masih sama. Sedangkal kue dan lilin. Sekerdil kejutan dan bingkisan. Saya lupa, bahkan mungkin buta, ulang tahun sejatinya adalah perayaan yang saya persembahkan untuk perempuan hebat yang telah menahan sakit yang luaarrrrr biasaaaa untuk menghadirkan saya. Yang setelahnya harus begadang karena tangisan saya. Yang mencuci popok saya. Yang dengan cinta membersihkan kotoran saya. Yang mengajarkan saya bagaimana berdiri dan berlari. Menjaga, melindungi. Memberikan seluruh waktu dan hidupnya. Tanpa pernah dibagi. Tanpa mau diganti.

Lalu, ke mana Ibu di saat perayaan ulang tahun saya selama ini? Saat remaja, saya akan izin pulang sekolah terlambat, untuk sekadar merayakan hari istimewa bersama teman-teman satu genk. Waktu kuliah, saya memilih tidak pulang dengan aladan tugas kuliah, kegiatan organisasi, dan beragam alasan ini itu.

Sementara Ibu, Ibu selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun. Menempuh jarak 3 Km naik sepeda pancal, untuk bisa menemukan warnet, menelepon rumah kos saya. Suaranya serak, hari itu kali pertama saya ulang tahun jauh dari rumah. Saya tahu ibu menahan tangis. Tapi Ibu terlalu pandai menutupi. Sebuah kado ibu titipkan pada seorang teman. Saya membukanya: mukena. Hari itu ulang tahun saya ke-19. Saya tidak pernah tahu. Tidak juga membayangkan. Mukena putih itu adalah kado terakhir Ibu untuk saya. Tuhan membawanya ke surga, 22 hari setelah ulang tahun saya ke-20. Setelah hampir 2 bulan Ibu kehilangan kesadarannya. Anehnya, hari itu, meski tak lagi ingat orang-orang di sekelilingnya, Ibu mengingat tanggal lahir saya. Dan di atas pembaringannya, dia mengucap "selamat ulang tahun ya mbak". Tuhan, dari mana Ibu tahu hari itu tanggal 6 April? Dua bulan Ibu di atas pembaringan, kehilangan sebagian ingatannya, tak ada tanggalan. Dari mana ibu tahu hari itu saya genap berusia 20 tahun?

Delapan tahun setelah hari itu, hanya ada kesedihan yang saya lewati setiap sampai di tanggal ini. Ya, saya tersenyum atas kue dan kejutan sahabat-sahabat saya. Saya tertawa atas bingkisan-bingkisan istimewa. Tapi saya selalu mengakhiri hari dengan pertanyaan yang sama. Tuhan, kenapa aku harus hidup sebatang kara?

Dan akhirnya pemahaman saya berubah. Sejak kapan? hari itu, setelah 24 jam berjuang meregang nyawa. Merasakan sakit yang luaaaarrr biasaaa hebat (semua ibu tentu merasakan ini), untuk menghadirkan bayi cantik lucu, Keenandira. Sejak hari itu saya tahu, sejatinya 6 April bukanlah milik saya. 6 April adalah perayaan untuk perjuangan ibu yang luar biasa. Maka seharusnya saya persembahkan seharian di tanggal itu untuk ibu. Mendengar cerita tentang hari itu darinya, memandang matanya yang menerawang jauh di malam yang sulit. Mengucap banyak terima kasih atas segala cinta dan pengorbanan. Seharusnya saya bersamanya seharian setiap tanggal itu. Hanya dengannya. Lalu, teman-teman? pacar? mereka adalah orang-orang yang beru sekali dalam hidup saya. Bukankah saya bisa memberikan tanggal 7, 8, atau 9 April untuk mereka?

Hari ini, saat Tuhan menyampaikan saya pada pemahaman ini, saya tak lagi punya kesempatan untuk memeluk ibu. Memasak makanan kesukaannya, memberikan sebuket mawar merah untuknya, menghabiskan waktu di sampingnya, mendengar kisah itu dari bibirnya. Hari ketika dia berjuang menghadirkan saya. Tapi hari ini saya memahami, bahwa ada pengorbanan yang luar biasa dalam hidup dan kehidupan saya. Perjuangan yang seharusnya dibayar dengan sangat mahal. Dengan apa? dengan menjadi sebaik-baiknya manusia: yang memiliki manfaat sebanyak-banyaknya bagi sesama. Semoga. 




Sidoarjo, 6 April 2014
00:12 WIB 

*hari ini ulang tahunmu? belilah sebuah hadiah kecil untuk ibumu, habiskan waktu bersamanya. hanya bersamanya. sebelum waktu tak pernah memberi sedetik pun kesempatan itu.