Rabu, 16 Oktober 2013

Di Atas Kata Sayang yang Tak Tersampaikan....

Di atas kata sayang yang tak tersampaikan. Bocah kecil menari dalam sunyi dan pekat hari berselimut selaput-selaput lembut. Membaca tiap detail makna pada ketidakmampuannya meraba kata. Mata pun memerih-berkaca-lalu mencipta muara. Ia tak lagi kuasa.

Di atas kata sayang yang tak tersampaikan. Wanita paruh baya masih setia mendekap anak-anaknya. Dengan lebam membiru membungkus kecantikan alami bidadari Bumi, Ia mengukuh pada satu kata patuh. Tangan telah terkepal. Nyali sudah terkumpulkan. Namun, suara ibu meruntuhkan jeritan menggema di rongga hati. Memecah bongkah beku.

Di atas kata sayang yang tak tersampaikan. Gadis muda tak juga mau pergi dari kotak penantian yang pernah diterima pada senja berpelangi. Ada kata "mungkin" tanpa muncul frasa "pasti". Tapi toh ia membatu hingga airmata mengkristal dalam keping-keping yang menyisa. Ia tak mau pergi. Tak juga mau membodohi diri.

Di atas kata sayang yang tak tersampaikan. Biarkan ombak terus menggerus pasir, menggulungnya ke lautan, menyatu pada pekat asin samudera kehidupan.

Di atas kata sayang yang tak tersampaikan. Keping-keping itu belum juga terangkai.


Malang, 13 Mei 2008
Jombang I 17, Kamar No 11


Kamis, 13 Juni 2013

Benang Kecil Rahasia

Kalian pernah bertanya pada Tuhan, kenapa suatu ketika otakmu kehilangan akal sehatnya dan kehilangan semua kontrol di dalamnya. Hidup yang sudah tertata, prinsip, dan tata rencana yang jelas mendadak lenyap. Berganti impian sederhana, kelewat sederhana. Atau bahwa sangat tidak keren buat seorang kamu yang punya impian melambung di awan-awan.

Saya mengalami hal itu, tiga tahun lalu. Untuk hal apa? maaf, saya tidak bisa memberi tahu siapa pun. Kenapa? karena saya tak mau kebodohan ini terlihat. Saya mau menjadi perempuan "gentlemen" yang dengan gagah berani mengakui kesalahan di depan Tuhan dan menerima dengan baik meski tubuh terasa sakit. Sampai saat ini, saya semua kesadaran kembali, saya benar-benar tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada saya tiga tahun lalu. Satu kata yang bisa mewakili: naif (polos yang mendekati bodoh). Semuanya terjadi dalam lubang angan-angan. Seperti terkena dampak narkoba, saya diserang kecanduan luar biasa. Bayang-bayang kedamaian yang luar biasa. Hidup indah bagai di surga. Ah...rasanya ingin saya skip saja masa itu. Sayang, Tuhan tidak menyediakan fasilitas canggih ini.

Seperti petualang yang kehilangan kompas lantas kehilangan arah, saya merasa asing dengan tempat ini. Karena bukan ini yang saya tuju. Bukan ini yang ada dalam daftar destinasi saya. Saya benar-benar tersesat. Sedikit buang waktu, tapi tidak seluruhnya buruk. Toh Tuhan masih menampar saya dengan beberapa petanda. Yang pada akhirnya membuat saya berhenti berjalan dan menyadari bahwa jalan ini salah.

Akhirnya saya terduduk dengan napas tersengal. Menyesal, menangis, menyalahkan diri sendiri, dan sebagainya. Berbagai kata "seandainya" menari-nari di kepala. Tapi, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sadar atau tidak, saya telah memilih jalan ini. Waktu yang terbuang, mimpi yang tertunda, langkah yang "mungkin" semakin sulit adalah risiko atas ketidakmampuan mempertahankan diri berjalan di jalan yang seharusnya. Kalau saya meratap, berapa lama lagi tujuan itu saya temui?

Akhirnya, dengan kepala tegak, dada terbusung, dan air mata yang masih berderai-derai karena masih saja menyesali kebodohan, saya melangkah, satu demi satu. Sambil terus merapal mantra yang dulu sekali selalu saya rapalkan. Di depan sana, saya akan tahu, alasan Tuhan membiarkan saya terjungkal untuk beberapa waktu.

*terkadang, saat apa yang kita dapatkan tak sesuai dengan rencana dan usaha besarmu, itulah benang kecil rahasia Tuhan. Suatu hari, kita akan bertemu dengan alasannya.


Surabaya, 13 Juni 2013

Selasa, 16 April 2013

Pregnancy: amazing phase for women's life :)

    Suatu siang, beberapa tahun lalu, mungkin saat masih berusia belasan, pikiran saya melayang-layang di ruang imajinasi dan khayalan. Melukis kisah-kisah yang "mungkin" saya jalani beberapa tahun setelah hari itu. Tentang "siapa" saya, lelaki mana yang akan menjadi suami saya, apa reaksi saya ketika suatu pagi saya keluar dari kamar mandi sambil membawa sebatang alat tes dengan dua setrip merah muda di dalamnnya, dan puluhan slide kehidupan masa depan yang tentu masih sangat jauh dari jangkauan saya saat itu.
    Saya masih remaja kala itu, sekitar 17 tahun, ketika saya membayangkan bahwa lelaki tampan yang saya sukai mati-matian sejak SMP itulah yang akan menjadi suami saya kelak. Sebuah keajaiban akan mendatangi saya. Secara mendadak, tubuh tambun saya mendadak mengecil, kulit sawo terlalu matang saya seketika menjadi kuning langsat bak putri-putri keraton, hidung pesek saya tumbuh dengan sangat cepat, jidat nonong mengecil, mata sipit melebar. Intinya, suatu pagi, ketika saya membuka mata, saya tertegun melihat perubahan bentuk fisik saya. Dan saat itulah, lelaki yang saya cintai berbalik, melihat saya sebagai gadis impiannya, istri yang baik, ibu terbaik bagi anak-anaknya.
    Bibir saya masih mesam-mesem sendiri ketika bel berbunyi panjang, penanda jam belajar berakhir, penanda lamunan saya dipaksa berakhir. Di pintu gerbang sekolah, saat saya mengayuh pelan sepeda mini biru saya, sebuah sepeda motor menyalip pelan. Seorang pria tampan memegang kemudi. Di boncengannya, gadis cantik berkulit putih tertawa kecil, memperlihatkan gigi-giginya yang rapi dan putih. Lelaki itu adalah lelaki yang saya cintai diam-diam, mati-matian, sejak duduk di kelas 1 SMP. Perempuan cantik itu adalah pacarnya yang ketiga. Parahnya, saya masih saja mengharap keajaiban yang sama.
   Sepuluh tahun setelah hari itu, hari ini, saat angka 27 disematkan dengan manis di pundak kanan saya sebagai bilangan usia, saya hanya bisa tersenyum sedikit geli mengingat hari-hari itu. Masa-masa sulit yang harus saya hadapi akibat tidak adanya sosok ayah dalam hidup saya. Saya, dalam keheningan dan kesendirian saya, mendamba cinta lelaki. Kerinduan yang tak bisa saya jelaskan dan ungkapkan, bahkan kepada ibu saya sendiri. Bahagia, bagi saya, adalah ketika seorang lelaki yang saya suka tiba-tiba menyatakan cinta, menyatakan kesediaan untuk melindungi, menjaga, dan mendengarkan semua permasalahan saya. Saya tidak bisa memandang bahagia dari sudut pandang lain. Bahagia adalah bertubuh langsing, kulit putih, berbusana bagus, dan sebagainya. Saya mengalami berbagai permasalahan yang belakangan saya ketahui sebagai problem psikologis atas ketimpangan dalam tumbuh kembang saya.
    Saya tidak bisa menyalahkan masa lalu. Tidak juga terpaku pada luka dan benci yang ditinggal ayah saya sendiri. Sebab, di sisi lain, di atas kepura-puraan saya membencinya, saya merindukan sosoknya. Sepahit apa pun waktu yang telah saya lalui, positifnya, saya bisa melalui itu, dengan selamat. Bagusnya, saya semakin kaya, sebagai orang tua kelak. Meski tak bisa digaransikan, fakta hidup yang tidak terlalu mudah, walau juga tidak terlalu sulit, semestinya mampu menjadi pelajaran berharga buat saya. Cermin yang senantiasa menjadi pengingat. Sebab, saat label "orang tua" disematkan, mau tidak mau, suka tidak suka, seorang manusia dituntut untuk kaya. Kaya agama, ilmu, hati, dan pengalaman hidup. Setidaknya, mau terus belajar mengayakan diri,
    Maka, pagi itu, 11 April 2013, ketika saya keluar dari kamar mandi dengan sebatang tespek yang dihiasi dua setrip merah muda, bukan teriakan bahagia meluap-luap yang menjadi ekspresi saya. Bukan senyum lebar dan debaran yang luar biasa. Saya hanya tersenyum kecil, terdiam cukup lama, sedangkan suami mengucap syukur berulang-ulang. Penanda betapa pagi itu menjadi pagi terindah baginya. Apakah saya tidak bahagia???
    Saya terdiam, mengucap hamdalah, sekali. Lalu, dalam beberapa detik segala sesuatu yang pernah saya alami dalam 27 tahun muncul serupa slide-slide yang bergerak cepat. Trauma, luka, ketakutan, keraguan, sakit atas kehilangan, dan semua perjalanan hidup penuh dengan tanda tanya yang tidak banyak orang tahu (sebagian kecil yang mengenal saya tentu sangat paham tentang ini). Saya yang aneh. Saya yang sensitif. Saya yang ini dan itu.
   Malam harinya, saat sebuah alat menekan-nekan bagian perut bawah saya, dan dari sana sebuah gambar di monitor hitam menunjukkan apa yang terjadi di dalam sana, saya menangis dalam diam. Dalam senyum saya bertanya. "Jadi, dokter?". " Iya nih, sudah 5-6 minggu. Itu kantung janinnya". Saya menghela napas. Menetralkan perasaan yang membuncah. Slide-slide yang tadi pagi datang telah mengumpul. Sebuah kotak kecil beserta kuncinya sudah saya siapkan dengan rapi. Segala sesuatu tentang masa lalu yang tidak terlalu bagus, namun penuh pelajaran itu sudah tertumpuk dengan baik. Saya harus selesai. Saya harus kembali utuh. Jika bukan untuk diri saya sendiri, setidaknya demi nyawa yang hidup dalam tubuh saya saat ini. Jika saya belum kaya, setidaknya saya berupaya mengayakan diri. Semoga.Amin.
   
*Pregnancy is amazing moment for a women's life :)


Surabaya, 17 April 2013
 

Rabu, 27 Februari 2013

CINTA, Seribu Satu Cerita

Februari, "bulan cinta", kata sebagian orang. Kenapa? ada Valentine's Day di sana. Hari yang dirayakan sebagai hari kasih sayang. Waktu yang tepat untuk memberi cokelat, sebuket bunga merah muda, mengajak pasangan makan malam, dan mengucap seribu kata cinta. Suka tidak suka, 14 Februari telah menjadi budaya. Yang kemudian diikuti oleh banyak manusia di penjuru dunia. Meskipun tidak sedikit yang mengecamnya.

Kali ini saya memang akan bicara tentang "cinta". Tapi, sekali lagi saya tegaskan, ini tidak berkaitan dengan Februari, si "bulan cinta". 14 Februari lalu saya memang mendapat sebuket mawar ungu saat membuka pintu kamar kos. Bunga itu dibawa seorang lelaki berjaket ungu. Dengan senyum lembut meski lelah terpancar jelas di mata dan garis-garis kulitnya. Bunga itu bukan simbol perayaan "hari kasih sayang". Mawar ungu itu adalah simbol kebahagiaan atas pertemuan. Perayaan atas kebersamaan setelah jarak memisahkan kami dalam beberapa hari.

Cinta, segala hal tentangnya tak pernah selesai dibahas dan dibicarakan. Berapa ribu lirik lagu sudah digubah, berapa juta puisi, berapa miliar kisah? Dan semua itu tak akan pernah habis, tak juga terkikis, sampai kapan pun. Sebab, cinta itu adalah hidup. Ia itu kehidupan. Ia habis jika kehidupan itu sendiri telah mati. Ia menjadi sandaran, menjadi titik tumpu, penyangga, pemantik bahagia, atau bisa saja pisau bermata dua. Setiap kepala memiliki definisi berbeda tentangnya. Ada yang menterjemahkannya dengan bijak. Tidak sedikit yang terjebak pada permukaan saja.

Cinta sangat universal. Salau satunya mengibaratkan kesejatian pada kisah dua manusia, berbeda jenis, yang memutuskan untuk hidup bersama, dalam janji Tuhan, dengan asmara yang masih membuncah di hati dan kepala. Mengucap sumpah setia, saling menjaga, mencinta, menutup kekurangan, sampai tua. Hanya ajal lah pemisahnya. Manis, sangat manis. Pesta digelar. Ribuan orang diundang. Tawa memecah. Bahagia menghujan. Indah.

Lalu, mari sebentar menengok kabar di koran pagi. Tentang angka perceraian di Indonesia yang semakin tinggi. Pemicunya beragam, perselingkuhan, ketidakcocokan, dan masalah ekonomi. Bahkan, penyebab tertinggi adalah masalah ekonomi. Kesenjangan pendapatan, gaji istri yang lebih tinggi, suami yang tidak mampu memberikan kelayakan dan sesejahteraan secara materi diduga menjadi pemantiknya.

Bergeser sedikit ke media visual, televisi, beserta objek berita yang selalu laris manis diberitakan: selebriti. Dalam beberapa minggu terakhir, kabar perceraian menjadi topik yang panas. Ada yang baru menikah dua tahun, delapan tahun, bahkan 16 tahun. Alasannya pun beragam. Yang jelas, kawin-cerai menjadi tren yang tidak hanya terjadi pada selebriti, tapi juga masyarakat secara umum. Sepertinya, perceraian menjadi sesuatu yang sangat wajar. Perempuan tidak perlu berpikir puluhan kali untuk menjadi janda. Kemapanan ekonomi dan kemandirian menjadi senjata yang ampuh untuk mengambil keputusan dalam waktu cepat. Tanpa pertimbangan dan pemikiran yang benar-benar matang. Bayangan saya pun bertamasya. Sesulit itukah menjaga bara asmara tetap hangat seperti hari pertama penyatuan jiwa? Serumit itukah hingga sesungguhnya kita tak akan pernah benar-benar mengenal pasangan kita meski waktu telah terbentang menumbuhkan kenangan dan perjalanan.


Kemudian, saya disuguhkan buku dan film Habibie Ainun. Kisah nyata tentang kesejatian cinta. Tentang kehidupan rumah tangga yang luar biasa indah. Saya tak pernah bosan membacanya, lagi dan lagi. Sebab, di sana saya menemukan kedamaian, peran yang tepat di masing-masing posisi. Saling menutupi kekurangan dan menjaga keindahan cinta. Saya melihat cinta, merasakannya. Dari mata perempuan anggun yang tidak pernah mengeluh. Perempuan cerdas yang sangat paham bahwa ada hal-hal yang tidak bisa lagi dipaksakan ketika janji suci itu terikat di atas kekuatan iman. Bapak Habibie yang telah habis waktu oleh pekerjaan. Ibu Ainun yang tak pernah mengeluh dan menuntut sedikit waktu untuknya. Saya melihat sinergi, keselarasan. Saya melihat ketulusan, kasih yang senantiasa terjaga manis di tempatnya.

Dan saya berhenti, menengok pada perjalanan waktu yang masih sangat dini. Empat bulan usia pernikahan saya. Usia yang masih sangat muda. Jalan yang ditempuh di atas dua kaki yang tak sama. Dua kepala yang benar-benar berbeda. Seperti apa nantinya? Saya belajar dan terus belajar. Dari kegagalan orang tua saya sendiri, dari ketidakberhasilan yang saya ketahui. Terlebih, dari cinta sejati, suci, dan abadi yang telah berhasil ditahbiskan banyak pasangan. Habibie Ainun salah satunya. Saya pun mendamba sejarah istimewa. Semoga.

*Manusia lahir dan mati silih berganti. Semua mengenal cinta, belajar, mengecap, menikmati, dan berusaha memaknainya. Banyak yang mati tanpa sanggup memahami. Tidak sedikit pula yang mampu meninggalkan jejak keabadian, menciptakan sejarah hingga semua insan Tuhan tahu, cinta mereka sejati.


Surabaya, 28 Februari 2013

Rabu, 30 Januari 2013

Pindul..oh Pindul...

    Sepagi ini saya sudah dibuat supergalau oleh sebuah foto liburan adik saya di Goa Pindul Yogyakarta. Kegalauan ini tentu berdasar. Sudah sangat lama saya ingin mengunjugi wisata alam yang menawarkan indahnya Goa yang berpadu dengan sungai yang mengalir di bawahnya itu. Rasanya hati saya langsung tidak keruan. Semacam patah hati tingkat dewa.
   Anda tentu bertanya, lha kalau pengen ke sana kenapa nggak langsung cusss aja sih? Nah, itu dia. Bagi perempuan bersuami seperti saya, semuanya akan berbeda. Saya tentu tidak sebebas si adik yang bisa nylanang-nylunung ke mana pun tanpa banyak terbentur jadwal libur kerja suami atau bujet yang yang harus dikeluarkan dalam sekali liburan. hahaha. Yang jelas, semua pertimbangan yang ada: rencana kehamilan (yang tentu membutuhkan dana ekstra), rencana beli rumah, dan kebutuhan-kebutuhan lain, membuat saya memutuskan untuk memasukkan liburan ke nomor dua puluh sekian di dalam daftar hal yang harus saya lakukan.
   Di saat hati gundah gulana, yang harus dilakukan adalah sesegera mungkin mencari penawarnya. Jangan pernah membiarkan penyakit ini bersarang lebih dari dua jam. BAHAYA saudara. Bisa-bisa mood berubah seharian, rencana kerja gagal, dan hasil yang dicapai tidak sesuai ekspektasi. Oh, Big NO NO. Otak saya berputar, celingak-celinguk mencari beberapa antibiotik di lemari obat. Dan, Voila!!!! Saya menemukannya.
   Satu di antara dua obat penawar galau adalah kalimat sahabat saya beberapa waktu lalu. Tepatnya saya ribuan orang merayakan nikmatnya cuti bersama Natal sampai Tahun Baru 2013. "Saya memang tidak bisa merasakan nikmatnya liburan di cuti bersama. Tapi, saat usia 35 tahun, saya akan berlibur seumur hidup saya". Kalimat itu menjadi status teman saya di beberapa media jejaring sosial, FB dan BBM. Tentu sahabat saya tidak bisa merasakan liburan saat cuti bersama kemarin. Kedai Mi pedas yang baru dirintisnya beberapa bulan lalu akan penuh sesak dengan pengunjung di musim liburan. Itu artinya pundi-pundi uang siap mengalir deras. Meski harus dibayar dengan kerja keras.
    Obat kedua yang saya temukan adalah sebuah artikel lepas yang saya baca di salah satu koran harian beberapa bulan lalu. Tulisan yang sangat mengena sehingga saya pun dengan mudah mengulang ceritanya. Sebut saja namanya Agnes, saya benar-benar lupa namanya. Agnes adalah mahasiswi S2 di Jerman. Dia punya cita-cita untuk pensiun muda, bebas finansial di usia 37 tahun. Impiannya adalah bisa hidup dari bunga deposito. Untuk mencapai impiannya, Agnes pun sudah membuat perencanaan yang sangat matang tentang hidupnya. Dalam tulisan itu, dia memaparkan hitungan matematika rumit yang membuat kening saya berkerut. Intinya begini, untuk mendapatkan bunga deposito sekitar 5 juta per bulan, Agnes harus memiliki tabungan sekian ratus juta rupiah (kalau tidak salah :D). Dalam sebulan, setelah melalui perhitungan panjang dan kehidupan superirit di Jerman, Agnes memperoleh angka sekian rupiah untuk ditabung per bulan. Dengan jumlah itu, Agnes bisa mewujudkan mimpinya pensiun dini dan bebas finansial setelah sepuluh tahun menabung. Dan selama itu pula, Agnes tidak bisa makan enak, tidak berlibur saat semua teman menikmati indahnya Eropa di musim panas, dan tidak pulang kampung ke Indonesia. WOW.....Saat tulisan itu dimuat, Agnes sudah menjalani dua tahun masa perjuangan. Artinya, ada delapan tahun tersisa. Istimewa.
      Dua orang yang saya ceritakan di atas tentu memiliki satu kesamaan. Mereka memiliki perencanaan yang matang tentang hidup dan bahagia menjalaninya. Saat kecil, kita semua tentu pernah mengalami hal-hal semacam ini bukan? Ketika ayah dan ibu menjanjikan boneka cantik jika kita berhasil duduk di peringkat pertama. Apakah kita tidak bahagia saat berjuang untuk mendapatkannya. Bangun pagi, belajar dua kali lipat lebih keras dari biasanya, berdoa lebih lama, semua dijalani dengan penuh semangat, penuh motivasi, untuk sebuah boneka cantik. Hal itulah yang saya lihat dari dua orang yang memberikan penawar pada saya itu. Mereka tahu apa yang mereka mau, membuat sebuah perencanaan, dan tidak tergoyahkan oleh apa pun.
     Dengan cepat saya menelan dua obat penawar galau itu sebelum bayangan Goa Pindul semakin menyerang ketahanan tubuh saya. Saya merapal doa untuk kehamilan saya, membayangkan berapa banyak biaya yang harus saya keluarkan untuk menjalani hidup sehat, periksa dokter, senam hamil, dan semua yang terbaik untuk buah hati saya. Bayangan-bayangan itu menggerus kegalauan saya perlahan. Tidak sampai sejam, saat tulisan ini hampir selesai, saya benar-benar tak lagi dihantui nyeri patah hati atas liburan yang saat ini tidak mungkin dilakukan. Tiga tahun lagi, saat laba bersih butik saya mencapai 10 juta per bulan, saya bisa melakukan perjalanan ke mana pun di negeri ini. Tidak hanya sendiri atau berdua dengan suami. Saya akan ajak serta buah hati kami (insya Allah), mertua saya, adik-adik saya, dan sahabat-sabahat saya. Semuanya GRATIS. Dan, Goa Pindul akan jadi yang pertama. :D

   *Sebuah balas dendam yang elegan bukan?

Surabaya, 31 Januari 2013
Di sela-sela nonton El Clasico :)

Selasa, 29 Januari 2013

Antibodi Patah Hati

   Dua malam lalu, dalam sebuah percakapan hangat lewat telepon, ada sebuah topik unik yang tanpa sengaja terdengar. Si profesor, adik saya, beberapa hari ini bertingkah aneh. Rambutnya mendadak gondrong. Hari-harinya dihabiskan bersama kemurungan dan kehampaan. Padahal, adik saya ini salah seorang yang saya kagumi: muda, cerdas, saleh, dan tentunya punya tampang yang lebih dari sekadar lumayan. Bagi pemuda yang sedang menyelesaikan sripsi dan mempersiapkan beasiswa S2-nya ke Swiss, tentu bukan masalah uang, akademis, atau problematika tingkat dewa yang bisa membuatnya galau. Permasalahan-permasalahan berat semacam itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Menyelesaikannya merupakan tantangan tersendiri. Lantas, apa yang membuatnya mendadak "seniman"?

   Selidik punya selidik (ini masih dugaan) si adik sedang putus cinta. "Lagi-lagi", penyakit satu ini sukses menghancurkan tatanan hidup seseorang. Meluluhlantahkan pemikiran logis dan prinsip-prinsip idealis yang dibangun sempurna. Tentang mimpi, hidup, dan rancangan-rancangan masa depan. Dan, secara spontan ingatan saya kembali pada sekitar tiga tahun lalu. Suatu masa ketika saya pun mengalami hal serupa. Diserang kegalauan karena serangan panah si cupid yang kebetulan nggak menembus hati, tapi otak saya. Akibatnya, otak saya nggak mau bekerja dengan semestinya. Pemikiran-pemikiran logis mendadak menguap. Nasihat dan omongan orang ibarat tukang bakso kelililing  Yang tersisa hanya bunyi tok tok tok tok....
   Putus cinta, patah hati, dan apa pun itu persamaannya memang tidak pernah bisa dilenyapkan dari muka bumi. Karena itu, cerita-cerita sejenis ini akan tetap eksis selama kehidupan itu sendiri ada. Kita akan selalu dan selalu menemukan orang-orang yang mendadak galau, melakukan hal-hal di luar akal sehat, dan sedikit lebai. Tingkat kegalauan dan keanehan itu bergantung berapa tingkat stadium patah hati yang menyerang dan kekebalan tubuh si penderita. Ada penderita patah hati yang kekebalan tubuhnya terlalu lemah sehingga apa yang menyerangnya benar-benar merusak semua tatanan hidup hampir keseluruhan. Nggak doyan makan, skripsi berantakan, mengurung diri di kamar, ngelamun di atas genting (ini pernah dilakukan teman saya), nangis bombai beratus-ratus malam, sampai berniat bunuh diri (Nauzubillah). Bagi yang kekebalan tubuhnya cukup lumayan, dampak penyakit tersebut mungkin sedikit bisa dikendalikan.
   Sebenarnya, hal-hal yang nggak mengenakkan ini bisa jadi duit kalau kita sedikit kreatif. Masih ingat dengan album Selamat Datang Pagi milik Glenn Fredly? Di dalamnya ada lagu Januari dan Akhir Cerita Cinta. Ingat kan? Kita juga pasti ingat bahwa dua lagu itu benar-benar booming. Saya masih duduk di bangku SMA kala itu. Hampir seluruh lagu di album itu menduduki posisi pertama di setiap chart musik, baik di radio atau televisi. Pertanyaannya adalah pernahkah Glenn menciptakan lagu seindah dan sehidup itu? Jawabannya NGGAK. Pertanyaannya lagi apa yang membuat Glenn mampu menciptakan lagu-lagu keren itu? Dan, jawabannya adalah PATAH HATI saudara-saudara.
   Kenapa lagu-lagu di album Selamat Datang Pagi benar-benar "hidup"? Siapa pun yang mendengarnya, apalagi yang merasakan hal sama, tentu merasakan efek luar biasa. Yup, Glenn menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu di album tersebut dengan sempurna karena itu adalah kisahnya, kehidupannya. Dia merasakan setiap nada dan lirik yang dia bawa. Ini yang saya maksud dengan patah hati yang penderitanya memiliki kekebalan cukup lumayan. Dia tidak membiarkan virus itu menghancurkan tatanan hidup secara kesuluruhan.
   Bagi saya, patah hati adalah sahabat baik hampir 11 tahun. Tepatnya sejak saya mengenal cinta pada usia 13 tahun. Adalah teman sekelas saya yang membuat saya menjomblo sepanjang remaja. Penyakit ini sukses membuat saya melakukan hal-hal konyol di luar akal sehat. Detailnya akan saya ceritakan di tulisan lain. Yang pasti, berbicara tentang patah hati, kita akan dihubungkan dengan serangkaian kisah, cerita, tindakan, peristiwa unik, konyol, memalukan, menyedihkan, mengharukan, dan banyak hal. Untuk itu, jadilah penderita dengan kekebalan tubuh yang sedikit lumayan. Memiliki antibodi yang cukup adalah hal wajib ketika kamu memutuskan untuk memasuki ranah cinta: mencintai, membangun sebuah hubungan.
   Lalu, dari mana antibodi itu didapatkan. Banyak: buku, film, komunitas, teman-teman yang superkeren, dan kreativitas. Orang-orang kreatif cukup mampu menyalurkan kegelisahannya lewat karya-karya menarik: puisi, cerpen, novel, lukisan, lagu, dan masih banyak contoh lain. Saya menghabiskan hampir enam diary dalam 11 tahun masa patah hati saya. Menulis juga salah satu bentuk kreativitas bukan?:p. Sahabat saya yang anak DKV menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk melukis sketsa segala sesuatu tentang perempuan yang dicintainya. Perempuan yang sudah punya pacar dan tak mungkin dimiliki teman saya itu. Hati boleh terluka, jiwa mungkin tersiksa, tapi jangan sampai mati konyol karenanya.
  Pada akhirnya, semua bergantung masing-masing penderita. Sebab, penyakit satu ini adalah penyakit paling abstrak di muka bumi. Meski begitu, jangan pernah berpikir untuk menghindarinya. "Nikmati saja. Suatu saat kamu akan menertawakan hari ini" begitulah kalimat yang saya katakan pada seorang teman saat dia merasa hidupnya hancur karena serangan patah hati. Dua tahun berselang, dia benar-benar menertawakan kebodohannya kala itu. Yup, karena dia telah bahagia dengan menikahi perempuan cantik, baik, cerdas, dan superbaik: Saya. :D


Surabaya, 30 Desember 2013
-Meetha-
       

Senin, 28 Januari 2013

Tuhan Itu Keren, Mas dan Mbak Bro.... :D

"Share donk, berapa laba bersih kamu per bulan?" 
"Ini masih hitungan kasar ya, admin-nya masih belajaran. Bulan lalu Alhamdulillah 5".

     Begitulah kira-kira dua kalimat awal percakapan saya lewat bbm dengan seorang teman "pengusaha muda" beberapa waktu lalu. Jujur, mata saya dibuat melebar dua kali lipat. "Lima" di sini tentu lima juta rupiah ya, bukan lima ratus ribu rupiah atau lima puluh juta :D. Sebuah angka yang sangat fantastis untuk usaha yang hanya dijalankan di rumah, dilakukan sambil "momong bayi", bersih-bersih rumah, nyuci, setrika, dan berbagai urusan rumah tangga lain. Di kantor tempat saya pernah bekerja saja gaji segitu rasanya punya kepala kompartemen saya (yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun). Luar Biasa.
    Saya lanjut ke pertanyaan kedua, tentang berapa persen kerugian yang dia dapat. Untuk ini, teman saya masih belum bisa memberikan jawaban pasti. Ya, saya paham itu karena usaha yang dia miliki masih berjalan sekitar enam bulan. Saat saya tanya apakah dia memakai jasa iklan berbayar, dia bilang tidak. WOW, saya kembali dibuat tercengang. Ternyata menggiurkan juga ya jadi pengusaha, pikir saya saat itu.
    Sebenarnya, saya tidak merasa heran dengan pencapaian teman saya. Kenapa? sejak awal saya tahu produk yang dia jual bukan sembarangan. Kali ini saya memberkan sepuluh jempol untuk sang kakak (ibu rumah tangga juga). Kalimat "ide itu harganya mahal" sepertinya bukan sebuah omong kosong. Ide dan kreativitas merupakan nilai tambah yang mutlak dimiliki setiap calon "entreneneur" (menurut saya ya :P). So, dari sekian banyak produk sama yang pernah saya tahu, produk ciptaan si kakak ini memang lain dari yang lain. Unik.
    Kembali lagi pada teman saya. Saat chatting itu berlanjut beberapa lama, secara spontan memori saya berputar ke masa sekitar satu setengah tahun lalu, pada pertengahan 2011. Malam itu saya pulang kerja sekitar pukul 23.00. Di depan kantor, teman saya dan calon suaminya sudah duduk lesu di tangga kecil. Teman saya memakai jaket tebal, jilbab pun dipakai ala kadarnya. Wajahnya lusuh, matanya sembab, seperti habis menangis. Kejadian selanjutnya bisa ditebak, saya memeluk dia, berusaha menenangkan dengan kalimat-kalimat standar (karena hanya itu yang saya punya). Singkat cerita, teman saya menjadi korban perampingan jumlah karyawan. Padahal, teman saya berencana menikah beberapa bulan lagi saat itu. Kala itu saya cuma bilang "Untuk menuju kebaikan biasanya memang ada ujian". Tidak banyak yang bisa saya berikan selain pelukan dan doa. Teman saya pulang dengan ucapan "terima kasih" yang terbata.
    Tuhan menunjukkan keagunganNya. Bahwa  Dia akan memberikan kemudahan untuk siapa pun yang punya niat baik, terlebih menyempurnakan separo agama: menikah. Kabar baik itu datang sekitar sebulan setelah malam muram itu. Teman saya diterima kerja di sebuah perusahaan Jepang. Mata saya menatap penuh iri melihat surat kontrak kerjanya yang kami cetak di warnet sebelah kos saya. Sebuah angka yang sangat besar untuk fresh graduate semacam kami. Yah, dua kali lipat UMR Surabaya saat itu lah. Dua kali lipat gaji saya :). Tuhan itu Keren, batin saya. "Tu kan, q bilang apa. Ini rezeki orang mau nikah".
    Belum genap setahun menikmati hidup bahagia: menikah, dua-duanya berpenghasilan lumayan, dan mendapat anugerah karena di rahimnya tengah tumbuh janin berusia sekitar dua bulan, cobaan kembali menghampiri teman saya. "Lagi-lagi", untuk kali kedua dia menjadi korban perampingan jumlah karyawan. Hidupnya kembali ke titik terbawah. Kali ini tentu lebih berat. Teman saya tidak mungkin bisa mencari pekerjaan pengganti. Tidak ada perusahaan yang mau menerima ibu hamil bukan? Maka, dia pun hanya bisa menerima kenyataan dengan "ikhlas". Meski saya tahu itu tidak mudah.
   Sang suami (yang kebetulan juga teman baik saya), tentu harus memeras otak lebih keras. Menjadi satu-satunya tumpuan keuangan keluarga dengan istri tengah hamil muda tentu tidak mudah. Penghasilannya di sebuah kantor telekomunikasi tidak sebegitu besar. Sebuah keputusan besar diambil. Diterima sebagai tenaga marketing di sebuah kantor leasing, teman saya mengundurkan diri dari pekerjaan lamanya. Harapan sempat menyeruak di langit-langit keluarga kecil itu. Saya pun senang mendengarnya. Sebagai istri, teman saya pun tidak tinggal diam. Saat itulah dia mulai membantu usaha online kakak keduanya. Meski belum seberapa, setidaknya dia melakukan sesuatu. Lagi-lagi saya tidak bisa berbuat banyak, hanya sesekali mengunjungi dan terus mendoakan.
   Sampai pada suatu sore, saya kembali dikejutkan kabar memilukan dari pasangan muda itu. Masih hangat dalam ingatan saya. Langit Surabaya sedikit mendung ketika kami bertemu di tempat calon suami saya. Suami teman saya mengundurkan diri dari pekerjaan barunya. Lingkungan kerja yang tidak sehat (teman-teman kantor sering ngajak "minum", waktu untuk salat yang susah didapat) menjadi alasan. Kami (saya dan calon suami saya) pun kagum atas keputusan itu. "Pasti setelah ini dimudahkan" kata saya memberi semangat. Teman saya mengangguk pelan. Matanya sayu, tubuhnya tak juga terlihat berisi meski usia kandungannya sudah semakin bertambah.
   Singkat cerita, pasangan muda itu meninggalkan Surabaya dengan kondisi sama-sama jobless. " Allah akan meninggikan derajat mereka setelah ini", kata saya dalam hati saat kali terakhir bertemu mereka di kota ini. Benar saja, semuanya berangsur-angsur membaik setelah itu. Usaha online teman saya semakin berkembang. Kehadiran bayi mungil mereka membuat pintu rezeki mereka semakin terbuka lebar. Beberapa bulan lalu, saat saya mengunjungi mereka dan bayi mungilnya, saya sempat bertanya berapa pendapatan bersih dari usaha itu. Teman saya menjawab sekitar satu juta rupiah. Dan, dua hari lalu, sekitar dua bulan setelah kedatangan saya saat itu, pencapaian itu meningkat lima kali lipat. Subhanallah.
   Hari ini, di hari ulang tahunnya, lagi-lagi saya belum bisa memberikan apa pun. Hanya untaian doa yang insya Allah terus terpaut di setiap sujud dan tulisan sederhana ini sebagai hadiah di pertambahan usianya. 25 tahun. Semoga kisahnya menjadi inspirasi, memotivasi, dan menjelma energi bagi saya dan Anda semua yang membaca. "Tuhan itu Keren, Mas dan Mbak Bro"....Kalau kata artis Pepeng saat wawancara di acara Chatting with YM "Allah itu ada buk..." :)

Semoga bermanfaat,
Surabaya, 29 Januari 2013
Untuk sahabat terbaik, ibu dan istri terhebat: Selamat ulang tahun, Ibu Ceriwis :)


nb: sejak di-PHK, teman saya ini menjadikan salat Duha sebagai kebiasaan. Subhanallah.