Selasa, 16 April 2013

Pregnancy: amazing phase for women's life :)

    Suatu siang, beberapa tahun lalu, mungkin saat masih berusia belasan, pikiran saya melayang-layang di ruang imajinasi dan khayalan. Melukis kisah-kisah yang "mungkin" saya jalani beberapa tahun setelah hari itu. Tentang "siapa" saya, lelaki mana yang akan menjadi suami saya, apa reaksi saya ketika suatu pagi saya keluar dari kamar mandi sambil membawa sebatang alat tes dengan dua setrip merah muda di dalamnnya, dan puluhan slide kehidupan masa depan yang tentu masih sangat jauh dari jangkauan saya saat itu.
    Saya masih remaja kala itu, sekitar 17 tahun, ketika saya membayangkan bahwa lelaki tampan yang saya sukai mati-matian sejak SMP itulah yang akan menjadi suami saya kelak. Sebuah keajaiban akan mendatangi saya. Secara mendadak, tubuh tambun saya mendadak mengecil, kulit sawo terlalu matang saya seketika menjadi kuning langsat bak putri-putri keraton, hidung pesek saya tumbuh dengan sangat cepat, jidat nonong mengecil, mata sipit melebar. Intinya, suatu pagi, ketika saya membuka mata, saya tertegun melihat perubahan bentuk fisik saya. Dan saat itulah, lelaki yang saya cintai berbalik, melihat saya sebagai gadis impiannya, istri yang baik, ibu terbaik bagi anak-anaknya.
    Bibir saya masih mesam-mesem sendiri ketika bel berbunyi panjang, penanda jam belajar berakhir, penanda lamunan saya dipaksa berakhir. Di pintu gerbang sekolah, saat saya mengayuh pelan sepeda mini biru saya, sebuah sepeda motor menyalip pelan. Seorang pria tampan memegang kemudi. Di boncengannya, gadis cantik berkulit putih tertawa kecil, memperlihatkan gigi-giginya yang rapi dan putih. Lelaki itu adalah lelaki yang saya cintai diam-diam, mati-matian, sejak duduk di kelas 1 SMP. Perempuan cantik itu adalah pacarnya yang ketiga. Parahnya, saya masih saja mengharap keajaiban yang sama.
   Sepuluh tahun setelah hari itu, hari ini, saat angka 27 disematkan dengan manis di pundak kanan saya sebagai bilangan usia, saya hanya bisa tersenyum sedikit geli mengingat hari-hari itu. Masa-masa sulit yang harus saya hadapi akibat tidak adanya sosok ayah dalam hidup saya. Saya, dalam keheningan dan kesendirian saya, mendamba cinta lelaki. Kerinduan yang tak bisa saya jelaskan dan ungkapkan, bahkan kepada ibu saya sendiri. Bahagia, bagi saya, adalah ketika seorang lelaki yang saya suka tiba-tiba menyatakan cinta, menyatakan kesediaan untuk melindungi, menjaga, dan mendengarkan semua permasalahan saya. Saya tidak bisa memandang bahagia dari sudut pandang lain. Bahagia adalah bertubuh langsing, kulit putih, berbusana bagus, dan sebagainya. Saya mengalami berbagai permasalahan yang belakangan saya ketahui sebagai problem psikologis atas ketimpangan dalam tumbuh kembang saya.
    Saya tidak bisa menyalahkan masa lalu. Tidak juga terpaku pada luka dan benci yang ditinggal ayah saya sendiri. Sebab, di sisi lain, di atas kepura-puraan saya membencinya, saya merindukan sosoknya. Sepahit apa pun waktu yang telah saya lalui, positifnya, saya bisa melalui itu, dengan selamat. Bagusnya, saya semakin kaya, sebagai orang tua kelak. Meski tak bisa digaransikan, fakta hidup yang tidak terlalu mudah, walau juga tidak terlalu sulit, semestinya mampu menjadi pelajaran berharga buat saya. Cermin yang senantiasa menjadi pengingat. Sebab, saat label "orang tua" disematkan, mau tidak mau, suka tidak suka, seorang manusia dituntut untuk kaya. Kaya agama, ilmu, hati, dan pengalaman hidup. Setidaknya, mau terus belajar mengayakan diri,
    Maka, pagi itu, 11 April 2013, ketika saya keluar dari kamar mandi dengan sebatang tespek yang dihiasi dua setrip merah muda, bukan teriakan bahagia meluap-luap yang menjadi ekspresi saya. Bukan senyum lebar dan debaran yang luar biasa. Saya hanya tersenyum kecil, terdiam cukup lama, sedangkan suami mengucap syukur berulang-ulang. Penanda betapa pagi itu menjadi pagi terindah baginya. Apakah saya tidak bahagia???
    Saya terdiam, mengucap hamdalah, sekali. Lalu, dalam beberapa detik segala sesuatu yang pernah saya alami dalam 27 tahun muncul serupa slide-slide yang bergerak cepat. Trauma, luka, ketakutan, keraguan, sakit atas kehilangan, dan semua perjalanan hidup penuh dengan tanda tanya yang tidak banyak orang tahu (sebagian kecil yang mengenal saya tentu sangat paham tentang ini). Saya yang aneh. Saya yang sensitif. Saya yang ini dan itu.
   Malam harinya, saat sebuah alat menekan-nekan bagian perut bawah saya, dan dari sana sebuah gambar di monitor hitam menunjukkan apa yang terjadi di dalam sana, saya menangis dalam diam. Dalam senyum saya bertanya. "Jadi, dokter?". " Iya nih, sudah 5-6 minggu. Itu kantung janinnya". Saya menghela napas. Menetralkan perasaan yang membuncah. Slide-slide yang tadi pagi datang telah mengumpul. Sebuah kotak kecil beserta kuncinya sudah saya siapkan dengan rapi. Segala sesuatu tentang masa lalu yang tidak terlalu bagus, namun penuh pelajaran itu sudah tertumpuk dengan baik. Saya harus selesai. Saya harus kembali utuh. Jika bukan untuk diri saya sendiri, setidaknya demi nyawa yang hidup dalam tubuh saya saat ini. Jika saya belum kaya, setidaknya saya berupaya mengayakan diri. Semoga.Amin.
   
*Pregnancy is amazing moment for a women's life :)


Surabaya, 17 April 2013
 

1 komentar: